Namaku Sabilah Putri, aku adalah anak keempat dari empat bersaudara. Di suatu hari saat libur sekolah, ayam sudah berkokok, menandakan hari sudah pagi. Aku terbangun dari tidur, langsung menuju toilet untuk membasuh wajah dan setelah itu mengambil air wudu untuk melaksanakan salat subuh. Salat subuh sudah aku laksanakan, waktunya bersiap-siap untuk sarapan. Ketika hendak sarapan, Ibuku berkata mengenai masa depan, “Nak, kamu sudah kelas 3 SMA. Apakah kamu ingin melanjutkan ke perkuliahan atau langsung bekerja saja?” Kata Ibuku. Aku pun menjawab, “Aku ingin kuliah, bu. Kalau aku kerja dulu, aku kan lulusan SMA, aku takut kalah saing dengan orang-orang yang lulus dari SMK, karena mereka memang ada program PKL, yang pastinya sudah memiliki pengalaman bekerja. Sedangkan aku kan tidak, bu.” Jelasku. Lalu Ibuku menjawab lagi, “Tapi nak, bagaimana jika kamu berkuliah nanti putus di tengah jalan?” Kata ibu. “Insyaallah, bu. Bila Allah berkehendak, aku bisa menyelesaikan kuliah dengan cara beasiswa. Do’akan aku, bu. Semoga nanti aku bisa berkuliah dengan menggunakan beasiswa, tanpa membebani ibu.” Timpaku.
Setelah aku sarapan, aku beranjak dari ruang makan menuju teras rumah. Ketika sudah berada di teras rumah, ada tetanggaku yang sedang berkumpul. Entah mereka berkumpul untuk membicarakan hal apa. Dan tiba-tiba salah satu tetanggaku menyapaku dengan sebuah pertanyaan, “Kamu sudah kelas 3 SMA, niat melanjutkan ke mana? Kamu kan SMA, sepertinya kamu tidak cocok untuk melanjutkan dengan bekerja, karena kamu tidak ada pengalaman sama sekali dalam hal bekerja. Tapi, kalaupun kamu kuliah, apa mungkin kamu sanggup untuk membayar biaya kuliah? Biaya kuliah kan sangat mahal, nanti yang ada malah putus di tengah jalan lagi.” Kata tetanggaku.
Aku hanya bisa membalasnya dengan senyuman, membiarkan mereka menghina, mengejek dan memapatahkan semangatku untuk berkuliah. Mereka hanya tidak tahu, justru kata-katanya itu membuat aku menjadi lebih semangat dan aku akan membuktikan kepada mereka, bahwa aku bisa berkuliah untuk perjalanan hidupku di masa depan yang lebih baik. Tidak seperti apa yang mereka katakan.
***
Pendaftaran
untuk masuk Perguruan Tinggi Negeri dibuka. Aku mulai menyiapkan berkas-berkas
untuk mendaftar PTN yang diinginkan. Aku tidak terlalu berharap untuk bisa
masuk PTN itu. Bukan berarti aku tidak niat untuk mendaftar. Namun aku takut,
jika terlalu berharap, nantinya akan berakhir dengan sesuatu yang menyakitkan.
Aku hanya bisa berdoa ketika selesai salat, pintaku pada-Nya ialah, “Ya Allah, jika Engkau menghendaki hamba
untuk bisa berkuliah, semoga do’a-do’a yang hamba langitkan terkabulkan
oleh-Mu. Namun jika memang Engkau tak menghendaki, aku yakin ada hal yang lebih
indah setelahnya.”
Tibalah pengumuman pun akan segera diumumkan. Rasa takut, khawatir, dan gelisah mulai terasa. Aku mulai membuka website, dan aku lihat di daftar peserta yang mengikuti pendaftaran untuk masuk PTN, apakah ada namaku atau tidak. Dan ternyata aku lolos dengan beasiswa. Segera aku memberitahu Ibuku, bahwa aku diterima di salah satu Universtas terkemuka di Jakarta dengan beasiswa. Ibuku terkejut mendengarnya. Akhirnya aku bisa berkuliah menggunakan beasiswa.
Setelah melihat pengumuman tersebut, Ibu menyuruhku ke warung untuk membeli bumbu dapur. Sepulangnya aku dari warung, ada tetanggaku sedang menyapu halaman rumahnya bersama anaknya dan berkata, “Eh, nak, gimana hasil pengumuman kuliahnya? Lolos atau tidak?” kata tetanggaku itu. Dan anaknya menimpali omongan ibunya, “Ya pasti ngga lolos lah bu. Dia kan bukan anak pinter seperti aku.” Kata anaknya sambil tertawa. Aku masih membalas kata-kata kurang mengenakan tersebut dengan senyuman.
***